Minggu, 31 Mei 2009

Antara Dukun dengan Pekerjaan Profesional (Guru, Konselor, dan Pengawas Sekolah) 01 Juni 2009

Tidak dipungkiri, meski saat ini kita hidup dalam era digital dan kesejagatan, tetapi pada sebagian masyarakat Indonesia masih ada saja yang mempercayai bahwa dukun adalah sosok yang bisa dimintai jasa untuk kepentingan tertentu.
Wikipedia menyebutkan bahwa “dukun adalah seseorang yang membantu masyarakat dalam upaya penyembuhan penyakit melalui tenaga supranatural”. Meski Wikipedia hanya merumuskan dukun untuk kepentingan penyembuhan penyakit, tetapi dalam kenyataannya di Indonesia, selain dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit (fisik maupun psikologis), jasa dukun juga dimanfaatkan untuk kepentingan promosi jabatan (karier/vokasional), memperoleh jodoh (sosial), bahkan memperoleh kepandaian intelektual dan kesuksesan dalam belajar (akademik).
Tidak menutup kemungkinan ada seseorang yang ingin lulus Ujian Nasional atau Sidang Sarjana, bukannya belajar secara sungguh-sungguh tapi malah pergi ke dukun.
Pengetahuan dan keterampilan seorang dukun tidak diperoleh melalui pendidikan formal yang tinggi, karena hingga saat ini sepengetahuan saya, di Indonesia atau mungkin di dunia, belum ada sekolah atau perguruan tinggi yang membuka program studi keahlian perdukunan. Kalau pun ada, mungkin hanya sebatas kursus privat yang sangat terbatas (eksklusif), yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
Untuk bisa menjadi seorang dukun tidak diwajibkan menempuh pendidikan formal tertentu. Seorang dukun tidak perlu menguasai komputer, tidak perlu menguasai metode ilmiah, tidak perlu menulis. Bahkan, tidak perlu memahami karakteristik pasiennya, karena dia akan melaksanakan pelayanan dari sudut pandang dia. Oleh karena itu, siapapun pasiennya biasanya akan diberi perlakuan yang sama.
Pelayanan yang diberikan sang dukun kepada pasien (user) hadir dalam berbagai ragam. Meski hampir bisa dipastikan tidak akan pernah ada standar pelayanan dan kompetensi dukun nasional, namun dalam praktik pelayanannya biasanya dilakukan melalui prosedur-prosedur (ritual) tertentu, yang tentunya setiap dukun akan menentukan prosedurnya masing-masing. Diantaranya ada prosedur yang agak masuk akal (logis-rasional), tetapi pada umumnya prosedur yang ditempuh sangat jauh dari akal sehat dan terkesan asal-asalan alias “semau gue”. Jangankan pasien atau orang awam lainnya, mungkin dukunnya sendiri akan mengalami kesulitan jika diminta menjelaskan apa dan mengapa prosedur itu harus ditempuh terutama kaitannya dengan jasa yang diminta. Misalnya, apa hubungannya antara mandi kembang dengan dapat jodoh atau keberhasilan karier, apa hubungannya minuman yang telah dicelupi batu oleh Ponari dengan kesembuhan sang pasien.
Bagaimana dengan hasil yang diterima oleh pasien (klien) atas pelayanan sang dukun? Walaupun ada diantaranya yang merasakan manfaat dari pelayanan sang dukun tetapi sangat sulit untuk diprediksikan apalagi jika harus dijelaskan dan dihitung secara kuantitatif.
Mari kita bandingkan dengan tiga jenis pekerjaan di Indonesia yang saat ini secara yuridis telah diakui sebagai pekerjaan profesional, yaitu: guru, konselor dan pengawas sekolah. Guru dan konselor memiliki sasaran (user) yang sama yaitu siswa (konseli), sementara sasaran (klien) pengawas sekolah adalah guru (personal) dan sekolah (manajerial). Dilihat dari ruang lingkup jasa pelayanan yang diberikan kepada sasaran (user) dari ketiga jabatan tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dukun, yaitu mencakup: pribadi, sosial, karier dan belajar (akademik) dari user masing-masing.
Untuk menyandang ketiga jabatan tersebut harus menempuh pendidikan yang cukup lama, untuk guru sekurang-kurangnya D4/S1, sementara untuk menjadi pengawas sekolah minimal S2 ditambah pendidikan profesi. Dengan pendidikan yang lama, diharapkan dalam dirinya tersedia pengetahuan dan keterampilan yang tinggi tentang bidangnya masing-masing. Mereka dituntut untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur standar yang bisa dijelaskan dan dipertanggung jawabkan secara etik-moral maupun ilmiah. Begitu juga, mereka dituntut memberikan hasil yang pasti dan bisa diprediksi bagi kliennya masing-masing.
Singkatnya, ketiga profesi tersebut dituntut melaksanakan pekerjaan yang tidak asal-asalan dan dengan hasil-hasil yang jelas dan terukur. Jika tidak, lantas apa bedanya dengan dukun??????
Sumber: akhmadsudrajat.wordpress.com

Jumat, 29 Mei 2009

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/03/28/instrumen-pengamatan-proses-konseling/

Dalam upaya membantu konseli, seorang Guru BK/Konselor dituntut untuk menguasai berbagai teknik konseling. Penguasaan berbagai teknik konseling ini dapat diperoleh melalui kegiatan berlatih secara terus menerus dan sistematis.

Untuk melihat sejauhmana perkembangan penguasaan keterampilan menggunakan teknik konseling yang telah dicapai seorang guru BK/Konselor dalam suatu latihan, tentunya dibutuhkan instrumen tertentu. Anda dapat menggunakan instrumen di bawah ini untuk melihat sejauhmana keterampilan Anda dalam menggunakan teknik-teknik konseling.

Instrumen Pengamatan Proses Konseling

Kamis, 28 Mei 2009

Makna Logo Konseling

LOGO KONSELING

LOGO KONSELING Logo Konseling Black

MAKNA LOGO KONSELING

* Gambaran (visualisasi abstrak) tentang kegiatan konseling (sebagai upaya pendidikan) yang melibatkan pelayanan konselor terhadap klien dengan potensi dan arah KES/KES-T nya dalam kondisi lingkungan untuk tujuan kemanusiaan seutuhnya.

A. Makna Tiap Komponen

1. Lingkaran Besar

* Makro-kosmos
* Manusia seutuhnya
* Pendidikan

2. Lingkaran Kecil

* Mikro-kosmos
* Individu yang sedang berkembang
* Konseling

3. Garis Vertikal

* Tujuan normatif, kemanusiaan seutuhnya, HMM
* Kemandirian
* Layanan terhadap klien secara konsisten dan intensif

4. Garis Mendatar

* Dasar pemberian layanan: kompetensi diri dan arah KES/KES-T klien
* Kondisi lingkungan budaya, nilai dan moral

5. Lingkaan Kecil dan Garis Vertikal

* Gambaran logo psikologi



B. Makna Keterkaitan antarkomponen

1. Lingkaran besar - lingkaran kecil, menjadi satu

a. Makna Filosofis

* Makro-kosmos dan micro-kosmos menjadi satu
* Manusia seutuhnya dan individu yang sedang berkembang, menjadi satu
* Dua unsur yang ada, serasi menjadi satu

b. Makna Keprofesionalan

* Pendidikan dan konseling (yang mana konseling berada di dalam pendidikan), menjadi satu
* Pendidik (konselor) dan peserta didik (klien) menjadi satu
* Teori dan pratik (dalam pendidikan dan konseling), menjadi satu
* Tujuan dan upaya pencapaiannya (dalam pendidikan dan konseling), menjadi satu
* Masalah dan solusinya (dalam pendidikan dan konseling), menjadi satu

2. Garis Vertikal - Garis mendatar, menjadi satu

* Dalam konseling arah KES/KES-T dan solusinya bersesuaian, menjadi satu
* Lingkaran budaya-nilai-moral dan kemandirian klien, bersesuaian dan menjadi satu

3. Keempat unsur, menjadi satu

* Dalam konseling, kaidah-kaidah pendidikan dan konseling, serta kemanusiaan yang utuh dan individu yang sedang berkembang, menjadi satu
* Dalam konseling, unsur-unsur klien dan arah KES/KES-T nya serta konselor dan upaya pelayanannya,menjadi satu

4. Gambaran Logo Psikologi

* Sejumlah kaidah psikologi digunakan sebagai “alat” dalam konseling

5. Logo Konseling (secara menyeluruh)



o Gambaran (visualisasi abstrak) tentang kegiatan konseling (sebagai upaya pendidikan) yang melibatkan pelayanan konselor terhadap klien dengan potensi dan arah KES/KES-T nya dalam kondisi lingkungan untuk tujuan kemanusiaan seutuhnya.

Hambatan-hambatan dalam Mewujudkan Hubungan dalam Konseling

Ada beberapa hal yang menjadi penghambat dalam dalam Mewujudkan Hubungan dalam Konseling diantaranya:

Transference; mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan atau dirasakan klien (cinta, benci, marah, ketergantungan) terhada konselor, baik berupa reaksi rasional terhadap kepribadian konselor ataupun proyeksi terhadap tingkah laku awal dan sikap-sikap selanjutnya konselor. Penyebab terjadinya transference adalah konselor mampu memahami klien lebih dari klien memahami diri mereka sendiri dan dikarenakan konselor mampu bersifat ramah dan secara emosional bersifat hangat. Jenis transference: positif (proyeksi perasaan bersifat kasih sayang, cinta, ketergantungan) dan negative (proyeksi rasa permusuhan dan penyerangan). Sumber perpindahan perasaan: 1) pengalaman-pengalaman masa lalu klien yang mengalami kegagalan dalam perkembangan yang diistilahkan Gestal dengan situasi yang tak terselesaikan, klien membawa berbagai alat manipulasi lingkungan, tetapi cenderung kurang memiliki dukungan dari diri sendiri yang merupakan suatu kualitas penting untuk bertahan. 2) Klien merasa takut akan penolakan dan ketidakpercayaan, hal ini merupakan bentuk perlawanan, sehingga klien memanipulasi konselornya dengan memakai topeng seolah-olah dia orang yang baik. Fungsi transference: membantu hubungan denganmemberikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan perasaan yang menyimpang, mempromosikan atau meningkatkan rasa percaya diri klien, mebuat klien menjadi sadar tentang pentingnya dan asal dari perasaan ini pada kehidupan mereka di masa sekarang melalui intepretasi perasaan tersebut.

Ikatan Konselor Indonesia

Lahirnya Ikatan Konselor Indonesia.
Gerakan konseling di Indonesia yang dimulai sejak awal tahun 1960-an telah berkembang dan berhasil mewujudkan
secara nyata kegiatan konseling sebagai pelayanan profesi bagi warga masyarakat luas, pada setting sekolah,